ZMedia

RUMAH TUA SANG KUNTILANAK

 

RUMAH TUA SANG KUNTILANAK


Malam itu, aku tiba di kampung Talu-talu.

Sebuah kampung terpencil yang seperti dilupakan waktu. Jalanan tanah merah mengular di antara pohon-pohon kelapa dan hutan kecil. Lampu rumah warga jarang menyala. Aku hanya melihat satu-dua gubuk berdiri jauh-jauh di antara semak.

Seorang pria tua, Pak Acung, berdiri menungguku di bawah pohon nangka. Bajunya longgar, sarungnya digulung tinggi. Dari mulutnya keluar asap rokok klobot yang tajam baunya. “Itu rumahnya, Nak,” katanya sambil menunjuk ke arah bangunan di kejauhan. “Dulu ditinggali sama Rarashati dan ibunya, Nyai Romlah…”

Aku menoleh ke arah yang ia tunjuk. Di ujung jalan tanah yang mulai ditelan rumput, berdiri sebuah rumah kayu tua. Diam. Sunyi. Dilingkari akar-akar liar, seolah pohon beringin besar di sampingnya sedang memeluknya erat-erat.

Rumah itu... tampak menungguku.

“Sejak Rara meninggal, rumah itu gak pernah dihuni lagi. Warga sini ogah lewat depan situ kalau malam.”

Pak Acung tidak banyak bicara. Setelah mengantarku ke halaman, ia langsung pergi. Tanpa basa-basi.

Dan sekarang, aku sendirian.

Angin malam meniup dedaunan. Lampu minyak di tanganku bergetar kecil karena tanganku mulai dingin.

Aku berdiri mematung di depan rumah itu, mencoba menenangkan diri. Tapi ada sesuatu yang janggal... udara di sekitar rumah ini lebih dingin dari udara di kampung tadi. Lebih sepi... dan entah kenapa, baunya aneh.

Aku membuka pintu yang hampir roboh. Suaranya berderit panjang, seperti mengaduh. Di dalam gelap, hanya cahaya minyak kecil yang menyentuh dinding-dinding berjamur. Debu menari di udara.

Tapi tiba-tiba...

Sesuatu menusuk hidungku. Bau busuk yang luar biasa menyengat. Campuran tanah basah, bangkai, dan… darah? Aku reflek menutup hidung.

Dan di saat yang bersamaan, suara itu terdengar.

Suara bayi.

Sayup… jauh… tapi jelas. Seperti tangis kecil dari balik dinding.

“Astaga…” bisikku. Tubuhku membeku. Tangisku ingin keluar tapi tak bisa. Langkah kakiku mundur, tapi pintu sudah tertutup.

Lalu... aku melihatnya.

Sosok itu duduk di ambang pintu ruang tengah. Tubuhnya pucat nyaris transparan. Rambutnya panjang menjuntai menutupi wajah. Di pelukannya… sesosok bayi.

Ia memeluk erat si bayi itu, seperti sedang menyusui. Tidak ada suara lagi, hanya keheningan yang berat. Mataku tak bisa beralih. Lampu di tanganku mulai berkedip, hampir mati.

Dan ketika cahaya terakhir dari lampu itu padam...

Aku masih bisa melihat matanya.

Menatapku. Tanpa berkedip.

Penuh luka. Penuh dendam. Tapi juga... kesedihan yang dalam.

Aku jatuh terduduk. Nafasku memburu. Tapi tubuhku tidak bisa bergerak. Seperti ada yang menahanku.

Dan suara itu kembali.

Tapi bukan suara bayi.

Suara tawa… lirih, serak… dan lama-kelamaan makin keras.

Rumah itu… tertawa.

Atau dia.

Rarashati.

***

Baca selengkapnya di aplikasi KBM APP dengan judul JERITAN HATI SANG KUNTILANAK (Klik aja tulisan ini langsung untuk terhubung ke KBM APP.)


Posting Komentar untuk "RUMAH TUA SANG KUNTILANAK"