Hanya dalam waktu satu bulan, hidup Amara berubah total. Dari gadis cantik yang penuh prestasi di kampus dan digilai banyak pria, kini ia telah menjadi istri seorang garin masjid. Semua usaha Amara untuk menggagalkan pernikahan itu sia-sia. Papa dan mamanya terlalu pandai menyusun strategi. Setiap Amara kabur, mereka berhasil membawanya kembali. Dan akhirnya, Amara harus duduk bersimpuh di samping seorang laki-laki sederhana saat ijab kabul dibacakan.
Tidak satu pun keluarga dari pihak Fahri hadir. Laki-laki itu hanya ditemani para pengurus masjid. Ayah dan ibunya, katanya, tidak bisa datang dari luar kota. Amara merasa pernikahan ini begitu aneh dan dipaksakan. Orang tuanya beralasan hendak berhaji, Bi Ana pamit pulang kampung, dan Amara tak punya saudara untuk dititipkan. Meski Amara telah bersikeras bisa menjaga diri, orang tuanya tetap memaksa.
Yang membuat Amara tak habis pikir, mengapa harus Fahri? Mengapa harus seorang garin masjid? Amara punya banyak pilihan. Ia bisa mendapatkan pria dengan kualifikasi jauh lebih tinggi—dosen, mahasiswa tajir, atau siapa pun yang ia mau. Tapi bukan Fahri.
Ia belum siap menikah. Ia masih ingin menjadi mahasiswi bebas yang bisa nongkrong di kafe, ikut ajang pencarian bakat, travelling ke luar kota dengan teman-temannya, dan bersenang-senang tanpa beban.
Kini semua itu terasa seperti impian yang dikubur hidup-hidup. Fahri telah memutus semua harapannya. Ia nyaris tidak mengenal laki-laki itu. Ia bahkan jarang shalat di masjid, bagaimana bisa tahu siapa Fahri?
Bu Mia, mamanya, mengatakan Fahri sudah dua tahun menjadi garin di masjid Al Ikhlas dan sedang menjalani S2. Hal itu mengejutkan Amara. Seorang garin yang sedang kuliah S2? Ia kira garin itu hanya lulusan SMA yang hidup pas-pasan. Ternyata tidak. Bahkan, kata mamanya, banyak gadis yang menyukai Fahri dan ingin menjadikannya suami. Tapi, Fahri selalu menolak. Lalu, mengapa saat papa Amara meminta Fahri menikahinya, laki-laki itu langsung setuju?
Kini, mereka hanya tinggal berdua di rumah. Rumah besar itu terasa sepi. Bukan hanya karena ditinggal orang tua, tetapi juga karena Amara harus hidup dengan seseorang yang ia anggap asing. Ia duduk di ruang keluarga sambil menatap tajam suaminya.
“Mas, aku mau bicara,” katanya dingin, menahan langkah Fahri.
“Ya, silakan.” Fahri duduk dengan tenang di hadapannya.
Amara diam sejenak, matanya menatap penuh curiga.
“Mengapa Mas mau menikahi aku?”
“Karena jodoh,” jawab Fahri kalem.
“Kalau begitu, Mas harus terima aku apa adanya. Aku bukan perempuan sholeha.”
“Aku akan membimbing kamu menjadi perempuan sholeha.”
“Aku masih ingin menikmati masa mudaku.”
“Boleh, silakan. Aku akan menemanimu.”
“Tapi aku nggak mau teman-teman aku tahu kalau kita sudah menikah. Aku akan bilang kamu kakak sepupu aku.”
Fahri terdiam. Lalu tersenyum tipis. “Baik, kalau itu bisa membuat kamu lebih nyaman, silakan. Tapi tetap ingat, kamu adalah istriku.”
Amara menatapnya. Matanya berkaca. Ia marah, tapi juga lelah. Ia ingin membenci Fahri, tapi sulit. Laki-laki itu terlalu tenang, terlalu sabar, dan tidak seperti yang ia bayangkan. Entah kenapa, hatinya sedikit bergetar. Tapi Amara tidak ingin kalah. Ia harus mempertahankan identitasnya. Setidaknya, sampai orang tuanya pulang dari tanah suci. Setelah itu, ia akan menyusun rencana berikutnya.
Baca selengkapnya di aplikasi KBM APP.
Judul: Marbot itu Ternyata Sultan (Klik tulisan wanra biru, tautan ke KBM APP akan terbuka)
Penulis Naya Rindu

Baper bacanya 😍
BalasHapus