ZMedia

CINTA BEDA KASTA BERAKHIR NESTAPA

 
CINTA BEDA KASTA BERAKHIR NESTAPA

Di bawah langit Minangkabau yang megah, dengan lembah-lembah hijau membentang dan sawah menguning seperti permadani, lahirlah cinta yang tak disangka. Namanya Mayang, gadis biasa dari dusun kecil di tepi hutan. Hidupnya sederhana, namun hatinya luas, seperti alam yang selalu ia kagumi. 

Ia bertemu dengan Randu, putra mahkota kerajaan, ketika sedang mengumpulkan bunga liar di tepi sungai. Perjumpaan itu seakan menakdirkan hatinya untuk tenggelam dalam lautan perasaan yang mustahil.

"Siapakah namamu, Gadis?" tanya Randu lembut pada hari pertemuan pertama mereka.

"Mayang, Tuan," jawabnya malu-malu, menyembunyikan wajah di balik selendang yang lusuh.

Sejak saat itu, mereka sering bertemu diam-diam. Di balik pepohonan hutan dan di tepian sungai yang sepi, hati Mayang semakin terpaut pada Randu. Dalam tatapan mata Randu, ia menemukan harapan yang membuat hari-harinya terasa lebih hidup. Namun, seperti bunga liar yang tak boleh tumbuh di taman istana, cintanya tak pernah punya hak untuk mekar.


"Randu, bukankah kita berbeda? Bagaimana mungkin kita bisa bersama?" suara Mayang bergetar, menyimpan ketakutan yang selama ini ia simpan.

Randu hanya tersenyum, meski matanya memancarkan luka. "Aku tak peduli. Kau bukan sekadar gadis biasa, Mayang. Kau rumah bagi hatiku."

Namun dunia tidak pernah memihak cinta yang datang dari dua jalan berbeda. Kabar tentang kedekatan Randu dan Mayang akhirnya sampai ke telinga istana. Ayah Randu, Raja Alam, murka besar. Ia merasa martabat kerajaannya tercoreng oleh hubungan tak pantas itu.

"Kau pewaris takhta, Randu! Bukan orang sembarangan yang bisa memilih cinta sesukanya!" suara Raja menggema di ruang singgasana. "Kau harus menikah dengan putri bangsawan. Itu perintah!"

Randu hanya terdiam, matanya kosong. Di dalam dadanya, rasa cinta dan kewajiban bertarung seperti gelombang besar di lautan badai.


Malam itu, Mayang menunggu Randu di tempat biasa mereka bertemu. Angin malam meniup rambutnya yang hitam panjang, membawa kegelisahan yang tak bisa ia pahami. Dalam hati, ia tahu perpisahan semakin dekat, namun ia tetap berharap ada keajaiban.

Randu datang dengan langkah berat, membawa kabar yang menghancurkan hati Mayang seketika.

"Kita tak bisa lagi bertemu, Mayang. Ayahku sudah memutuskan. Aku harus menikah dengan Putri Cindua Mato bulan depan."

Air mata Mayang jatuh tanpa bisa ia tahan. Bukan karena ia tak menyangka, tapi karena harapan kecilnya akhirnya patah juga. "Lalu apa arti semua ini, Randu? Apa arti semua pertemuan dan janji-janji itu?"

Randu tak mampu menjawab. Kata-katanya terhenti di tenggorokan, tercekik oleh rasa bersalah dan ketidakberdayaan. Ia menggenggam tangan Mayang erat, seolah itu terakhir kali ia bisa merasakan hangatnya. "Aku mencintaimu, Mayang. Tapi di dunia ini, cinta saja tidak cukup."


Hari pernikahan Randu tiba. Istana dipenuhi tamu-tamu agung, musik tradisional dimainkan meriah, dan seluruh kerajaan bersuka cita. Namun, di sudut yang sepi, seorang gadis berdiri sendirian di tepi sungai. Mayang menatap air yang mengalir, seolah mencoba mengirimkan semua rasa sakitnya ke dalam arus yang tak pernah berhenti.

Ia tak hadir di pesta pernikahan itu. Ia tahu, hatinya tak sanggup melihat orang yang ia cintai bersanding dengan orang lain. Di dalam dirinya, ada luka yang tak akan pernah sembuh, dan ada cinta yang tak akan pernah dimiliki.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, Mayang melangkah masuk ke dalam sungai yang dingin. Langit mendung seolah ikut meratapi keputusannya. Air merambat ke tubuhnya, seperti rasa sakit yang perlahan menguasai hatinya.


Esok paginya, tubuh Mayang ditemukan mengapung di sungai, bersama selendang lusuh yang ia pakai pertama kali bertemu Randu. Berita kematian gadis itu cepat menyebar, namun hanya sedikit yang tahu bahwa di balik tubuh tak bernyawa itu, ada hati yang hancur karena cinta yang tak mungkin bersatu.

Randu berdiri di tepi sungai, menatap mayat Mayang dengan mata kosong. Di dadanya, cinta dan penyesalan bergejolak, tapi semuanya sudah terlambat. Ia tak bisa mengubah apa pun.

"Aku datang terlambat, Mayang. Maafkan aku," bisiknya, suaranya pecah di antara air mata yang jatuh. Namun alam tidak mendengar, dan cinta mereka tenggelam bersama arus sungai, tak bertepi, dan tak akan pernah kembali.

Posting Komentar untuk "CINTA BEDA KASTA BERAKHIR NESTAPA"