ZMedia

DI BAWAH ATAP YANG SAMA

 
DI BAWAH ATAP YANG SAMA

Di Bawah Atap Yang Sama

Semenjak anak-anak dewasa dan sibuk dengan kehidupan masing-masing, tinggallah aku bersama Mas Anwar—suamiku. Umurku saat ini 65 tahun dan Mas Anwar 68 tahun. Sudah 43 tahun kami mendayung biduk rumah tangga. Bukan waktu sebentar. Banyak cerita dan tentunya banyak kenangan yang tidak akan pupus begitu saja.

Anak-anak kami—Rudi, Adi, dan Maya—sudah berkeluarga dan hidup di kota provinsi. Walaupun jarak kami hanya tiga jam perjalanan, rasanya mereka semakin menjauh dari kami. Dulu, rumah kami selalu ramai dengan gelak tawa dan kegaduhan anak-anak yang bermain atau bertengkar. Tapi sekarang, kesunyian semakin terasa. Jika tidak kami yang menghubungi, mereka jarang sekali menelepon.

Rudi, anak pertama, sangat dekat dengan Mas Anwar sejak kecil. Setiap kali Mas Anwar pulang kerja, Rudi selalu menunggu di depan pintu dengan wajah penuh kegembiraan. Adi, si anak tengah, lebih mandiri, sementara Maya, anak bungsu kami, selalu manja dan butuh perhatian. Namun, setelah mereka semua menikah dan punya anak, hubungan itu berubah. Mereka menjadi sibuk dengan kehidupan masing-masing, sementara aku dan Mas Anwar hanya bisa memandangi foto-foto lama di dinding rumah.

Dua bulan terakhir, ada yang berubah dari Mas Anwar. Dia terlihat lebih banyak diam, lebih banyak tidur, dan mudah tersinggung. Perilaku yang tidak pernah aku lihat selama ini, tentu saja membuatku terkejut.

Seperti malam ini, setelah salat Isya, dia terlihat kesal ketika aku menanyakan dia hendak ke mana.

“Kenapa kamu selalu bertanya ke mana aku akan pergi? Tidak cukupkah kamu mengatur hidupku selama ini? Aku mohon, bebaskan aku!” ucapnya dengan nada marah.

Tubuhku langsung membeku mendengar ucapannya. Kakiku terasa lemas, tetapi kupaksakan untuk melangkah mendekatinya.

“Apa maksudmu, Mas? Aku tidak mengerti!” tanyaku pelan, berusaha meredakan situasi.

Dia memutar badannya, membelakangi aku. Gelapnya malam menjadi satu-satunya tempat untuk menyembunyikan ekspresi wajahnya yang dingin.

“Kamu memang tidak pernah mau mengerti. Kamu hanya ingin dimengerti, tanpa mau mengerti bagaimana aku!” lanjutnya dengan suara yang lebih datar, tetapi tetap mengandung kemarahan.

“Kalau begitu, jelaskan, apa maksudmu agar aku bisa mengerti!” Suaraku sedikit meninggi. Tidak biasanya dia berperilaku aneh begini.

“Aku ingin kamu tidak banyak tanya. Biarkan aku sendiri.”

Aku mendidih mendengar ucapannya. “Aku bertanya karena aku peduli sama kamu, Mas. Kalau aku tidak bertanya, nanti kamu bilang aku tidak perhatian. Serba salah aku jadi istri.”

“Peduli? Apa maksudmu peduli? Memangnya apa yang akan kamu lakukan jika kamu tahu aku mau ke mana? Apa kamu mau ikut? Mengekori ke mana aku pergi, begitu?”

Astaga, aku benar-benar tidak percaya ini. Kenapa dia begitu kesal hanya karena aku bertanya dia mau ke mana.

“Mas, kita ini sudah sama-sama tua. Aku hanya takut terjadi apa-apa sama kamu. Bagaimana jika terjadi sesuatu sama kamu, sementara aku tidak tahu kamu di mana? Kamu kenapa sih sebenarnya, Mas? Aku benar-benar bingung!”

Dia mendengkus mendengar ucapanku. “Kalau begitu, jangan ikut campur urusanku. Urus saja dirimu sendiri!”

Dengan wajah marah, dia melanjutkan langkahnya menuju garasi. Tidak berapa lama, dia sudah keluar dengan motor matic hadiah dari Rudi, anak pertama kami, setahun yang lalu.

Rumah ini mendadak terasa sunyi. Aku mendengar dengan jelas detak jam yang seirama dengan degup jantungku. Begitu sepi dan penuh dengan kekosongan.

Memori masa kecil anak-anak berkelebat di pikiranku. Suara-suara gaduh karena mereka bermain, bergelut, dan menangis membuat dadaku sesak. Sebuah kenangan yang tidak akan mungkin kembali terulang.

Ternyata waktu itu memang bergerak maju dan tidak pernah mau berhenti walau hanya sedetik. Tanpa sadar, mereka semua sudah dewasa dan aku kian menua. Rasanya aku tidak siap dengan kesunyian ini.

Tadinya aku berharap, masa tuaku akan penuh dengan ketenangan tanpa banyak beban pikiran. Sayangnya, harapan tinggal harapan. Anak-anakku hidup dengan zaman yang sangat berbeda denganku.

Kalau aku atau Mas Anwar sakit, ketika mereka tahu, mereka hanya menyarankan segera ke dokter, minum obat, dan tidur. Padahal, kadang sakit kami ini hanya agar mereka mau menjenguk kami sesekali. Jangan datang pas hari lebaran saja.

Mungkin itu yang membuat Mas Anwar banyak pikiran. Anak-anak itu lebih dekat dengannya daripada denganku. Dulu, Mas Anwar kerap membanggakan anak-anaknya itu ke orang-orang. Sekarang, setelah anak-anak dewasa dan memiliki keluarga sendiri, keberadaan Mas Anwar dan aku seakan terpinggirkan.

Ternyata benar, di mata orang tua seperti kami, anak tetaplah anak-anak, walau mereka sudah berkeluarga dan memiliki anak sendiri.

Denting jam terus bergulir. Sekarang sudah pukul 11 malam, tapi Mas Anwar masih belum kembali. Aku semakin gelisah. Aku takut dia kenapa-kenapa. Usia 68 tahun itu bukan lagi usia main-main. Bagaimana jika dia kecelakaan atau terjadi hal buruk di jalan?

Namun, rasa cemas itu perlahan-lahan memudar ketika aku mendengar suara grandel pintu diputar, pertanda dia sudah kembali.

Aku segera bangun dan melangkah ke arahnya. “Sudah pulang, Mas?” tanyaku dengan suara serak.

Dia tidak menjawab, tetapi matanya menatapku sedih.

“Aku minta maaf ...,” katanya seraya menarik tubuhku ke dalam pelukannya. “Maafkan aku yang memarahimu tanpa alasan. Aku hanya takut. Sangat takut!”

Bahunya terguncang. Aku semakin heran. “Kenapa, Mas? Apa yang kamu takutkan?”

Aku membawanya ke sova dan duduk di sampingnya.

“Sayang, aku takut jika nanti ... aku atau kamu tidak ada lagi di dunia ini. Aku gamang menatap masa depan kita. Kalau boleh memilih, biarkan aku yang mati terlebih dahulu. Jika kamu yang pergi, aku—aku tidak akan bisa mengurus diriku sendiri ....”

Astaghfirullah!

“Lalu kenapa kamu memarahiku? Hampir dua bulan lo, Mas, kamu menyakiti perasaanku.”

Dia menatapku sendu. “Aku tidak tahu. Sebenarnya, aku hanya marah pada diriku sendiri. Pikiran-pikiran buruk kerap menghantuiku beberapa bulan ini. Apalagi, anak-anak seolah-olah tidak peduli dengan kita. Aku bingung ... sungguh bingung!”

Aku meraih tangannya lembut. “Mas, ketakutanmu adalah ketakutanku juga. Apa yang kamu rasakan, aku juga merasakan. Namun, Mas, kematian itu pasti akan tiba. Siap tidak siap, kita harus siap menghadapinya. Tidak perlu kamu cemaskan hal itu. Siapa pun nanti yang pergi duluan, satu pesanku, tetaplah berada di jalan Allah. Perkuat iman di hati dan jauhi larangan-Nya. Hanya dengan begitu kita selamat, Mas.”

Dia kembali memelukku. Kali ini aku merasakan napasnya begitu lega. Seakan-akan beban berat lindap begitu saja dari pundaknya.

“Terima kasih sudah bersamaku selama ini. Terima kasih sudah mau menjalani hidup berumah tangga denganku. Walau aku bukan suami yang sempurna dan baik, aku telah mencoba membahagiakanmu semampuku. Terima kasih telah melahirkan anak-anak yang tampan dan cantik. Semoga kelak, kita bisa dipertemukan lagi di surga-Nya Allah.”

Aku begitu terharu mendengar ucapannya. Kuusap-usap punggungnya yang lebar. “Sama-sama, Mas. Aku juga bukan istri yang sempurna. Aku juga berterima kasih karena telah menjadikanku ratu di hatimu. Aku juga minta maaf jika banyak salahku, lalaiku, selama menjadi istrimu.”

Dia mendorong tubuhku pelan. Matanya yang sayu menatapku sendu. “Aku mencintaimu,” katanya dengan suara antara terdengar dan tidak.

Di saat itu, terdengar bunyi ketukan pintu. Aku menatapnya sejenak lalu beranjak bangun menuju pintu. Ketukan semakin keras, disertai teriakan. Aku bergegas membukakan pintu.

“Pak RT? Ada apa, Pak?”

Seorang lelaki berkopiah hitam berdiri di depan pintu dengan dua orang lelaki lainnya. Wajah mereka terlihat pucat dan prihatin.

“Buk Desi, saya mau menyampaikan kabar buruk ....”

“Kabar buruk? Kabar apa, Pak?” Mendadak hatiku terasa tidak enak.

“Pak Anwar—kecelakaan, Buk! Dan jasadnya sekarang ada di RSUD.”

“APAAA?”

Posting Komentar untuk "DI BAWAH ATAP YANG SAMA"