ZMedia

PEMBUNUHAN YANG DISENGAJA

PEMBUNUHAN YANG DISENGAJA


PEMBUNUHAN YANG DISENGAJA

Di atas permukaan kulitku yang sunyi, seekor semut kecil berjalan perlahan, seperti seorang pengembara yang tersesat di padang tandus. Tubuhnya mungil, begitu rapuh, tapi gerakannya cepat, seolah ada urgensi yang memaksanya melaju tanpa henti. Kaki-kaki kecilnya seperti benang-benang tak kasat mata yang menari di atas kanvas hidupku, menggurat jejak yang hampir tak terlihat.

Aku menatapnya, diam-diam, serupa bayang-bayang kelam yang mengintai dari sudut kegelapan. Aku tak tahu apa yang membawanya ke sini. Mungkin, ia tengah dalam perjalanan menuju sarangnya, mungkin ia membawa kabar baik bagi koloninya, atau mungkin justru ia lari dari malapetaka yang memburu. Siapa yang bisa mengerti bahasa semut? Bahasa diam yang hanya bisa didengar oleh mereka yang mau mendengar.

Namun, di balik pergerakan lincahnya, terselip ketidaknyamanan yang mulai merambat di kulitku, seperti sejumput kabut yang perlahan-lahan menyelimuti alam bawah sadar. Aku tahu, gigitan semut sekecil ini pun bisa menorehkan rasa gatal yang menyebalkan, seperti tusukan jarum halus yang merayap di bawah permukaan kulit.

Kegelisahan mulai melilit pikiranku. Mungkin dia tidak akan berhenti. Mungkin dia akan menggigit. Dan tanpa sadar, aku merasakan detak jantungku mulai mengalun lebih cepat. Sesuatu dalam diriku, entah dari mana asalnya, mengirimkan sinyal peringatan.

Dalam sekejap, jari telunjukku terangkat, seperti bayang-bayang gelap yang datang tanpa suara. Lalu, dalam satu gerakan yang cepat dan tanpa ragu, aku menekannya. Tubuh kecil itu tak sempat melawan. Suara gemeretak halus yang hampir tak terdengar, seperti rintihan terakhir sebelum semuanya lenyap.

Semuanya berakhir dalam diam.

Semut itu kini terkapar, tubuhnya hancur lumat di bawah tekanan jariku. Raga kecilnya yang dulu penuh dengan kehidupan kini tak lebih dari sekadar bercak hitam di permukaan kulitku. Di sana, di tempatnya terhenti, aku melihatnya, seakan tubuh kecil itu memandang balik padaku—tidak dengan mata, tetapi dengan sisa-sisa kehidupan yang perlahan menguap.

Ada sesuatu yang menyesak di dalam dadaku, sebuah perasaan yang tak bisa aku jelaskan. Apakah ini rasa bersalah? Atau hanya sekadar kegelisahan sesaat? Semut itu begitu kecil, tak berarti di dunia ini. Namun, di satu titik dalam hidupnya, dia mungkin memiliki impian, sebuah harapan yang hanya bisa dimengerti oleh sesama semut. Mungkin dia bergegas menuju keluarganya, membawa setitik makanan untuk anak-anaknya yang kelaparan. Mungkin dia tengah berlari karena merasakan ancaman yang mengintainya, dan sayangnya, ancaman itu datang dari diriku.

“Apa yang telah aku lakukan?” bisikku dalam hati. Tapi tak ada yang menjawab. Hanya hening yang menggema, seperti suara angin yang tersesat di dalam gua gelap.

Sungguh, kematian itu datang dengan begitu cepat, begitu sunyi, namun meninggalkan bekas yang tak bisa aku hapus. Aku membunuhnya. Aku menghancurkan segala yang dia miliki, segala yang dia perjuangkan, hanya dalam satu gerakan tanpa pikir panjang. Apakah dia sempat merasa takut? Apakah dia tahu bahwa maut sudah mengintai sejak ia mulai berjalan di atasku?

Dan kini, tubuh kecilnya yang tak bernyawa, seperti bintang yang jatuh tanpa disaksikan siapapun, hanya menyisakan kegelapan.

Aku teringat pada sesuatu. Bukankah dunia ini seperti itu juga? Orang-orang kecil, mereka yang berjuang dari hari ke hari, begitu mudah dilupakan, begitu cepat dihancurkan oleh mereka yang lebih besar, yang lebih kuat. Kita hidup di dunia di mana mimpi-mimpi kecil seringkali hancur begitu saja, tanpa ada yang peduli.

Kita seperti semut-semut kecil, berjalan tergesa-gesa, berusaha mengejar kehidupan, sementara di atas sana, ada jari-jari raksasa yang siap menghancurkan kita kapan saja, tanpa peringatan. Satu tindihan, satu tekanan kecil dari mereka yang lebih berkuasa, dan semuanya berakhir—mimpi-mimpi, harapan, dan kehidupan kita yang sederhana.

Betapa menakutkannya dunia ini. Seperti bayangan gelap yang terus mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menyerang, menghancurkan segalanya tanpa belas kasih. Kita tidak pernah tahu kapan waktunya tiba. Apakah hari ini? Apakah besok? Atau mungkin kita sudah terlambat, dan jari itu sudah siap menekan kita kapan saja.

Aku kembali menatap tubuh semut yang hancur di tanganku. Ada rasa takut yang merayap di dalam hatiku. Apakah ini hukuman yang menunggu kita semua, tanpa pengecualian? Kematian yang datang tanpa aba-aba, merenggut nyawa kita ketika kita tengah sibuk berjuang untuk sesuatu yang bahkan tak diperhatikan orang lain?

Dan di sanalah aku, berdiri di atas reruntuhan kehidupan kecil yang baru saja aku akhiri. Tidak ada yang tahu apa yang dia rasakan. Tidak ada yang tahu apa yang dia perjuangkan. Semua hancur dalam satu tindihan jari yang sunyi.

Sungguh, betapa mudahnya mimpi dihancurkan. Betapa cepatnya kehidupan berakhir.

Mungkin, aku adalah simbol dari kekuatan yang tak kasat mata itu, kekuatan yang menindih tanpa ampun, menghancurkan mereka yang tak punya kuasa untuk melawan. Dan mungkin, suatu hari nanti, akan ada jari yang jauh lebih besar, jauh lebih kuat, yang akan menindihku dengan cara yang sama, tanpa belas kasihan, tanpa peringatan.

Kehidupan ini, pada akhirnya, hanyalah permainan kekuatan. Mereka yang kecil akan selalu berada di bawah bayang-bayang, menunggu saat dimana mimpi-mimpi mereka dihancurkan oleh tangan-tangan besar yang tak pernah peduli pada tangisan mereka.

Dan aku hanya bisa berharap, ketika waktuku tiba, aku tidak akan merasakan ketakutan yang sama seperti semut kecil itu. Aku berharap, aku bisa menerima nasibku dengan tenang, meskipun tahu bahwa di dunia ini, kebenaran dan keadilan hanyalah bayangan yang tak pernah benar-benar nyata.

Padang, 14 Oktober 2024

Selengkapnya baca di sini: ROTI-ROTI KEHIDUPAN

Posting Komentar untuk "PEMBUNUHAN YANG DISENGAJA"