ZMedia

Sambut Bapak di Liang Lahat, Nak!

Sambut Bapak di Liang Lahat, Nak!



Matahari telah lama tenggelam, tapi hatiku tak tenang. Bapak belum juga kembali dari kebun. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Di luar, hujan deras mengguyur tanpa ampun.

“Mungkinkah Bapak berteduh dulu?” Ibu berdiri di sampingku, gelisah. “Hujan deras sekali di luar.”

Aku menatap Ibu, dan kecemasan yang sama terlihat jelas di wajahnya. “Bisa jadi, Bu. Semoga Bapak baik-baik saja.”

Kecemasan ini bukan tanpa alasan. Siang tadi, saat aku mengantarkan makan siang untuk Bapak, ia sempat mengeluh tentang rasa sakit di dadanya. "Mungkin gara-gara rokok itu," kataku mencoba mengingatkan. “Bapak sudah sering diingatkan, tapi tetap saja. Sebaiknya Bapak pulang saja. Langit juga sudah gelap, sebentar lagi pasti hujan.”

Bapak hanya tersenyum tipis dan menggeleng. "Nanggung, Nak. Kamu pulang saja duluan. Nanti kalau sudah selesai, Bapak segera menyusul."

Hatiku tidak tenang. Melihat Bapak yang kadang mengernyit menahan sakit, aku merasa ingin tetap di sana. Tapi Bapak memaksaku untuk pulang, seperti biasa, dia selalu keras kepala.

“Kita pulang sama-sama saja, Pak. Aku takut terjadi apa-apa.”

Bapak tertawa kecil mendengar ucapanku. “Kamu takut Bapak mati?”

“Aduh, jangan ngomong begitu, Pak. Nanti didengar malaikat,” sahutku setengah bercanda. “Bapak masih muda. Semoga diberi umur panjang dan hidup penuh berkah.”

Bapak tersenyum sambil mengusap kepalaku. “Nanti, kalau Bapak meninggal, kamu sambut Bapak di liang lahat, ya? Sentuh Bapak untuk terakhir kalinya.”

Kalimat itu menyelinap dalam batinku, menimbulkan rasa getir yang tidak bisa kujelaskan. “Bapak jangan ngomong gitu, Pak. Aku takut!” ucapku, air mata mulai menggenang di pelupuk mata.

Namun, Bapak hanya tertawa lebih keras. "Kamu itu laki-laki. Nggak boleh cengeng. Sudah 17 tahun, loh. Malah sudah bisa jadi bapak juga, hahaha."

Aku menghapus air mataku, meskipun rasa cemas masih menguasai pikiranku. Bapak memang jarang menunjukkan kesedihannya, dan dia tak suka jika aku menangis. Prinsipnya selalu, "Untuk apa memelihara kesedihan kalau ada kebahagiaan yang bisa membuat hidup lebih mudah?"

Sambut Bapak di Liang Lahat, Nak!



Namun, aku tidak pernah bisa sepenuhnya mengikuti prinsip itu. Aku takut kehilangan Bapak. Bagiku, dia bukan sekadar orang tua. Dia adalah sahabat, teman, dan sandaran di saat-saat sulit.

“Bapak pasti pulang, kok,” kata Ibu, mencoba menenangkanku. Dia masuk ke dalam rumah, meninggalkanku yang berdiri di beranda. Suara gemuruh makin keras di langit.

Lalu, tiba-tiba petir menyambar tepat di depan mataku. Kilatan cahaya membuatku terkejut, dan sesaat kemudian tubuhku terasa terbakar. Semua suara lenyap, dan aku merasa seperti terjatuh.

Apakah aku tersambar petir?

Aku melihat Ibu berteriak dan menjerit, tetapi suaranya tak terdengar. Aku mencoba bergerak, namun tubuhku terasa berat. Perlahan, pendengaranku kembali. Samar-samar, aku melihat Ibu berlari ke halaman, tapi dia melewatiku.

Dengan tubuh gemetar, aku bangkit dan mengikuti arah lari Ibu. Di halaman, di bawah derasnya hujan, aku melihat sosok tergeletak. Asap tipis mengepul dari tubuhnya.

Aku berhenti seketika. Pikiranku kosong.

“Bapak...!”

Suara itu meluncur keluar dari tenggorokanku, namun rasanya seperti bisikan. Tubuh Bapak tergeletak tak bergerak, diselimuti asap dan genangan air.

Ibu menangis, tubuhnya dipapah oleh tetangga yang baru datang. Aku berdiri kaku. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kuhentikan.

Seketika, aku tersadar. Bukan aku yang tersambar petir. Itu Bapak.

Perasaan bersalah dan rasa kehilangan yang begitu besar menghantamku. Seketika aku teringat kata-kata Bapak siang tadi. Sambut Bapak di liang lahat, Nak.

Tanganku gemetar. Aku tahu, inilah saatnya aku menepati janji itu.

Padang, 17 Oktober 2024

Posting Komentar untuk " Sambut Bapak di Liang Lahat, Nak!"