ZMedia

Kata Kakek, Ibu Adalah Pembawa Sial

Kata Kakek, Ibu Adalah Pembawa Sial


Kehidupan ini seolah terjebak dalam lingkaran tanpa akhir, sebuah siklus kemiskinan yang menjeratku dan keluargaku. Dalam kesunyian malam yang mencekam, aku merasakan beban yang terlalu berat untuk dipikul. Suara kelaparan perutku menambah hening yang sudah mencekik. Di luar, malam menampakkan wajahnya yang kelam, menandakan hari yang panjang dan melelahkan. Namun, harapan untuk menemukan makanan di rumah selalu menggebu dalam benakku.

Kehidupan yang kami jalani bukanlah pilihan. Setiap hari, aku dan adikku, Rifki, berjuang mengumpulkan botol-botol plastik demi sekeping nasi. Rasa lapar membuatku semakin tak sabar ketika pulang ke rumah, namun harapan itu selalu sirna. Kembali ke rumah yang sepi, aku mendapati meja makan kosong. Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu saat melihat wajah Ibu yang lelah. Hatiku meronta, menuntut jawaban. Aku merasa muak dengan semua ini, dengan kemiskinan yang terus menghimpit kami.

Di saat-saat seperti itu, aku sering kali mengalihkan pandangan pada Rifki. Dia masih kecil, seharusnya tidak perlu terbebani dengan hidup yang serba kekurangan. Dalam benakku, aku bertekad untuk memberikan yang terbaik untuknya, namun kenyataan tak kunjung berpihak pada kami. Ibu, yang berjuang keras setiap hari, terlihat semakin lemah. Lihatlah bagaimana dia berusaha memasak dengan sisa-sisa yang ada, selalu berjanji akan memberikan lebih baik esok hari, tetapi esok itu tak kunjung datang.

Malam itu, rasa kesal menggerogoti hatiku. Tanpa berpikir panjang, aku melangkah keluar rumah, ingin menghirup udara malam. Di bawah pohon beringin yang besar, aku merokok dalam kesunyian, mencoba menenangkan diri. Dalam kegelapan itu, aku teringat akan ayah. Sejak ia pergi, hidupku dan Ibu hanya dipenuhi kesedihan. Tidak ada kabar, tidak ada petunjuk. Entah hidup atau mati, rasa sakit yang ditinggalkannya menghantui kami.

Tiba-tiba, sosok kakek muncul dari kegelapan malam. Auranya dingin dan menakutkan. Namanya Darma. Ketika ia berbicara tentang Ibu, mataku terbelalak. Dia menyebut Ibu sebagai pembawa sial, seseorang yang seharusnya diusir dari kampung halamannya. Kata-kata itu bagaikan duri tajam yang menusuk jiwaku. Dalam kebingunganku, aku merasa terjebak dalam cerita yang tidak ingin aku percaya.

Kakek itu memberitahu bahwa kutukan itu bisa diputuskan, tapi harganya sangat tinggi. Dalam gelapnya malam, kata-kata bisikannya terngiang di telingaku, semakin menambah beban yang ada di pundakku. Momen itu seakan mengubah segala sesuatu. Aku berlari pulang, hati berdegup kencang. Dalam kegelapan, aku melihat Ibu yang tertidur lelap. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat aku menggenggam pisau. Sebuah keputusan besar sedang menanti.

Mata Ibu yang tertutup rapat menenangkan hatiku sejenak. Namun, suara bisikan yang terus menggodaku mengusik ketenangan itu. Harapan dan kebencian berperang di dalam diriku. Mengapa aku harus melukai orang yang telah berjuang sekuat tenaga untuk kami? Dengan air mata yang mengalir, aku menjauh dari tempat tidur Ibu, meletakkan pisau itu kembali.

Aku berlutut di lantai, merasa hancur. Kesadaran bahwa Ibu bukanlah sumber malapetaka, melainkan penyelamat dalam hidupku, membuatku terbangun dari kegelapan pikiran yang ingin menguasai diriku. Keesokan harinya, saat aku menceritakan semua kepada Ibu, ketakutan dan kebingungan berpadu di wajahnya. Dia mengungkapkan kebenaran tentang ayah, tentang kutukan, dan kami hanya bisa menunggu, menanti dengan harapan.

Bayangan Kakek Darma terus menghantuiku, namun aku tahu, aku tak akan terjerat oleh kegelapan itu.

Selengkapnya baca di aplikasi KBM APP dengan judul: GULITA

Posting Komentar untuk "Kata Kakek, Ibu Adalah Pembawa Sial"