ZMedia

Tertawa di Cermin: Bayangan yang Bukan Diriku

 

Tertawa di Cermin: Bayangan yang Bukan Diriku

Setiap malam, aku merasa diawasi. Bukan oleh seseorang yang berdiri di balik jendela atau mengintip dari celah pintu, melainkan oleh sesuatu di luar jendela kamarku. Bayangan samar sering kali muncul, hampir tak terlihat. Awalnya, aku pikir itu hanya ilusi—mungkin bayangan pohon di bawah sinar lampu jalan, atau mungkin sekadar bayangan dahan yang tertiup angin.

Namun, malam-malam berikutnya bayangan itu semakin jelas, lebih besar, dan semakin mendekat ke jendela. Aku tak bisa lagi mengabaikannya sebagai ilusi. Setiap kali aku menoleh, bayangan itu bergerak, seperti mengikuti gerakanku, tetapi lebih lambat, seolah-olah sedang mengamatiku dengan tenang, menunggu waktu yang tepat. Aku tidak berani mendekat, meski rasa penasaran semakin menguasai pikiranku.

Pada suatu malam yang sangat sunyi, saat angin di luar seakan berhenti dan hanya suara detak jantungku yang terdengar, aku memutuskan untuk menghadapi bayangan itu. Aku memberanikan diri berjalan ke arah jendela dengan langkah yang pelan tapi pasti. Dengan hati-hati, aku menarik tirai yang menutupi kaca.

Bayangan itu ada di sana—jelas, tepat di balik jendela, menghadap langsung ke arahku. Namun, yang membuatku menggigil adalah saat aku menyadari bahwa itu bukanlah bayangan dari luar jendela. Itu adalah pantulan diriku sendiri, atau setidaknya tampak seperti itu. Tetapi ada sesuatu yang salah. Wajahku—atau wajah bayanganku—tersenyum lebar dengan cara yang menakutkan. Senyum yang tidak pernah aku lakukan, senyum yang terlalu lebar dan aneh untuk wajahku.

Aku berdiri diam, napasku memburu. Aku tahu aku tidak tersenyum, tapi bayanganku di kaca terus menatapku, tertawa diam-diam dengan bibir yang menyeringai. Tanganku gemetar saat meraba wajahku sendiri, memastikan bahwa bibirku tidak melengkung ke atas. Tapi bayangan di kaca itu… dia tersenyum.

"Ini tidak mungkin," pikirku sambil mundur perlahan. Namun, sebelum aku bisa sepenuhnya berbalik, sebuah suara yang menyeramkan terdengar. Itu seperti suara tawa, tetapi tawa itu bukan milikku. Itu datang dari bayangan di cermin. Bayanganku tertawa terbahak-bahak, suara tawa itu menggetarkan udara di sekitarku. Aku terperangah, tak mampu bergerak. Kakinya bergerak, tapi tubuhku tetap diam.

Ketika aku mencoba berbalik, napasku tercekat. Aku tidak bisa bergerak. Cermin, yang seharusnya hanya menjadi pantulan diriku, kini menunjukkan sesuatu yang tak masuk akal—aku melihat diriku terjebak di dalam kaca, sementara sosok di luar terus menatapku dengan senyum lebar itu. Dialah yang bebas sekarang.

Aku mencoba berteriak, namun tak ada suara yang keluar dari mulutku. Sebaliknya, bayangan itu yang mulai berbicara dengan suaraku, tapi terasa asing dan dingin. "Akhirnya, aku bebas," katanya pelan namun jelas.

Dengan satu kedipan mata, dunia terbalik. Aku, yang seharusnya berada di luar cermin, kini terjebak di dalamnya. Sosok itu, yang kini memakai wajahku, berjalan menjauh dari cermin, meninggalkan aku terperangkap di dalam, menatap dunia yang kini menjadi asing. Aku menatapnya pergi, sementara tawa dinginnya masih terngiang-ngiang di telingaku.

Dan aku? Aku hanya bisa melihat, terjebak dalam bayangan yang dulu kuanggap sebagai pantulan. Kini aku tahu, cermin itu lebih dari sekadar kaca. Dia adalah pintu, dan aku telah melewatinya—tanpa bisa kembali.

Posting Komentar untuk "Tertawa di Cermin: Bayangan yang Bukan Diriku"