Roti yang Tak Pernah Hangus
Anton dulunya hanya dikenal sebagai seorang pembuat roti Yahudi di sebuah kota kecil di Jerman. Toko rotinya sederhana, tapi harum roti yang keluar dari tungkunya membuat orang-orang, dari anak-anak sekolah sampai pekerja pabrik, selalu mampir. Di balik senyum ramahnya, tak ada yang menyangka ia kelak menjadi saksi hidup dari sejarah paling kelam: Holocaust.
Bertahun-tahun setelah perang usai, banyak yang bertanya, “Bagaimana kau bisa selamat, Anton?” Ia tidak pernah menjawab dengan panjang. Hanya satu kisah yang selalu ia ulang, sebuah kisah yang sederhana namun penuh luka sekaligus cahaya.
Semua bermula di sebuah malam beku, ketika ia dijejalkan ke dalam gerbong kereta menuju Auschwitz. Ratusan tubuh rapuh disatukan tanpa makanan, tanpa air, tanpa sehelai mantel pun. Salju jatuh di luar, dingin menembus tulang, dan kematian seperti menunggu di ujung napas.
Di antara tubuh-tubuh yang menggigil, Anton melihat seorang pria tua. Giginya gemeretak, tangannya kaku, wajahnya pucat kebiruan. Ia tahu, jika malam itu pria tua itu dibiarkan, ia akan mati sebelum fajar. Anton sendiri hampir menyerah, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menolak diam.
Ia meraih tangan si tua, mengusap lengan dan kakinya, meniupkan napas hangat di wajahnya. Sepanjang malam, ia berbicara, menyemangati, lalu memeluknya erat, seperti seorang anak yang menjaga ayahnya agar tetap terjaga.
Fajar datang perlahan. Sinar tipis matahari menembus celah kayu gerbong. Saat Anton membuka mata, pemandangan yang ia lihat menghantam jiwanya. Semua orang di dalam gerbong telah kaku, beku oleh dingin. Hanya dua orang yang masih hidup—ia dan pria tua yang dipeluknya semalaman.
“Kau tahu,” kata Anton bertahun-tahun kemudian, “aku tidak menyelamatkan dia. Dia yang menyelamatkanku. Dengan menjaganya, aku lupa bahwa aku pun hampir mati. Dengan memberi hangat, aku menemukan hangat itu sendiri.”
Orang-orang terdiam setiap kali mendengar kisah itu. Seorang pembuat roti yang sederhana, bertahan bukan dengan kekuatan, bukan dengan senjata, tapi dengan keberanian untuk tetap manusia di tengah dehumanisasi.
Di hari tuanya, Anton sering duduk di depan tungku roti kecil di rumahnya. Cucu-cucunya berlarian di sekitar meja, dan ia selalu memanggil salah satu dari mereka untuk duduk di pangkuannya. Dengan suara bergetar tapi penuh kehangatan, ia bercerita lagi tentang malam di gerbong itu.
“Dengar baik-baik,” ujarnya, menatap nyala api tungku yang berkelip, “jangan pernah berhenti jadi manusia, bahkan ketika dunia mencoba merampasnya darimu. Ingatlah, roti yang hangus bisa dibakar lagi, tapi hati yang dingin … tak akan pernah kembali.”
Cucunya menatap dengan mata berbinar, sementara di wajah Anton mengalir senyum tipis yang bercampur getir. Ia tahu, kelak tubuhnya akan kembali pada tanah, tapi kisah itu akan tetap hidup, seperti aroma roti hangat yang tak pernah hilang dari ingatan siapa pun yang pernah merasakannya.
#cerpen #sejarahdunia #holocaust #yahudi #auschwitz

Posting Komentar untuk "Roti yang Tak Pernah Hangus"
Silakan tinggalkan komen yang beradab dan sopan. Anda sopan saya pun segan.