ZMedia

Perjalanan Mudik yang Menguji Kesabaran: Dua Jam Tanpa Udara Segar

 

Perjalanan Mudik yang Menguji Kesabaran: Dua Jam Tanpa Udara Segar

“Perjalanan Mudik yang Menguji Kesabaran”

Lebaran tahun kemarin adalah pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan. Aku—Istiqomach—pulang kampung bersama anakku yang masih berusia dua tahun dan masih menyusu. Seharusnya ini menjadi perjalanan penuh kebahagiaan, tapi berubah jadi ujian kesabaran terberat dalam hidupku. Kami memilih bus dengan AC untuk perjalanan enam jam, berharap perjalanan terasa nyaman. Nyatanya, kenyamanan itu hanyalah mimpi.

Bus mulai bergerak meninggalkan terminal. Awalnya, udara dingin dari AC terasa menyegarkan, cukup membuatku yakin bahwa perjalanan ini akan baik-baik saja. Anakku duduk di pangkuanku sambil memeluk mainan kecilnya, dan aku merasa lega karena dia terlihat tenang. Tapi, tak lama kemudian, aku mulai menyadari sesuatu yang aneh. Angin dingin dari AC perlahan menghilang. Aku menoleh ke sekitar, melihat wajah-wajah penumpang lain yang mulai mengipasi diri sendiri dengan kertas atau tiket bus.

“Kok AC-nya mati, ya?” gumamku dalam hati. Aku mencoba menenangkan diri, berpikir mungkin ini cuma sementara.

Namun, menit demi menit berlalu, dan AC itu tetap tidak menyala. Udara di dalam bus mulai terasa panas dan pengap. Anakku, yang tadinya anteng, mulai menunjukkan tanda-tanda gelisah. Dia menggeliat dan mulai memanggil, “Bunda, panas... panas...”

Aku mencoba menghiburnya, mengusap keringat di dahinya. Tapi anak kecil tidak bisa diajak kompromi. Tak lama kemudian, dia mulai menangis—keras dan panjang, membuat seluruh penumpang menoleh ke arah kami.

Seorang ibu di kursi depan memandangku dengan iba. “Aduh, kasihan anaknya, Bu. Ini kenapa AC-nya dimatikan, sih?” katanya sambil mengipasi dirinya sendiri dengan koran.

Aku mengangguk, merasa semakin frustrasi. Aku berusaha menenangkan anakku dengan berbagai cara—mengajak dia bermain, memberi camilan, dan mengalihkan perhatian dengan lagu favoritnya di ponsel. Tapi semuanya sia-sia. Tangisnya tidak juga reda.

Akhirnya, dalam kondisi terdesak, aku memberikan ASI. Dia akhirnya tenang, tapi masalah baru muncul: dia terus menyusu tanpa berhenti. Aku tahu dia tidak lapar, tapi mencari kenyamanan di tengah panas. Perutnya mulai membuncit karena kekenyangan, tapi setiap kali aku mencoba menghentikannya, dia langsung menangis lagi.

“Pak, tolong dong nyalain AC-nya! Anak saya rewel!” Aku memberanikan diri menegur sopir.

Sopir itu melirikku sekilas lewat spion, lalu menjawab dengan nada datar, “Ngipasin aja, Bu, kalau kepanasan.”

Aku melongo, tidak percaya dengan responsnya. Ngipasin? Dengan apa? Aku nggak bawa kipas. Ini kan bus AC, bukan bus ekonomi! Seharusnya kami nggak perlu ngipasin diri sendiri.

Penumpang lain mulai ikut protes.

“Pak, ini gimana? Udah bayar mahal tapi kayak naik oven!” seru seorang bapak dari belakang.

“Buka jendela aja kalau AC-nya nggak bisa nyala,” tambah seorang ibu sambil mengibas-ngibaskan bukunya.

Sopir itu mengabaikan semua keluhan. Bukannya minta maaf atau memberi penjelasan, dia malah semakin ngebut. Kami terlempar ke sana kemari setiap kali bus melewati jalan berlubang atau belokan tajam. Jantungku serasa mau copot, bukan hanya karena ugal-ugalan sopir, tapi juga karena tangis anakku yang semakin keras.

Setiap kali bus mengerem mendadak, anakku kaget dan menangis lebih keras lagi. Aku bisa merasakan beberapa penumpang mulai kehilangan kesabaran, meski tidak ada yang terang-terangan marah. Mereka hanya bisa menatapku dengan tatapan tajam.

Aku mulai merasa pusing karena stres. Keringatku bercucuran, sama seperti keringat anakku yang semakin banyak. Rasanya seperti terjebak di dalam oven berjalan. Dua jam berlalu, dan bus ini terasa seperti neraka. Aku hanya ingin waktu cepat berlalu, ingin perjalanan ini segera berakhir.

Aku mencoba tetap berpikir positif—mungkin sopirnya sedang mengalami masalah pribadi. Tapi setiap kali dia membentak penumpang yang protes atau menambah kecepatan bus, kesabaranku semakin menipis. Aku merasa seperti kehilangan kendali, tapi di saat yang sama harus kuat demi anakku.

Setelah berjam-jam disiksa panas dan kegelisahan, akhirnya bus tiba di halte tujuan. Begitu pintu bus terbuka, semua penumpang langsung menyerbu keluar. Wajah mereka tampak kusut, penuh amarah dan kelelahan.

“Kami nggak bakal pergi sampai AC dinyalain!” seru seorang bapak sambil berdiri di depan pintu bus. Beberapa penumpang lainnya mendukung, meminta uang tiket dikembalikan.

Sopir itu akhirnya menyerah. Dengan wajah kesal, dia memutar tombol AC dan udara dingin pun kembali mengalir. Tapi apa gunanya sekarang? Semua sudah terlambat.

Aku merasa lega akhirnya bisa turun dari bus itu, tapi amarah dan frustrasi masih mengendap di dalam hati. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi ujian kesabaran terberat. Rasanya seperti neraka yang bergerak di atas roda.

Setelah turun, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah naik bus dengan sopir seperti itu lagi. Trauma dan rasa kesal itu masih terasa hingga sekarang. Bahkan jika nanti ada bus yang lebih murah atau lebih cepat, aku tidak akan pernah mengambil risiko yang sama.

Tahun ini, aku memilih untuk mudik dengan mobil sendiri. Lebih mahal memang, tapi aku butuh ketenangan, bukan mimpi buruk seperti yang aku alami kemarin. Biarlah perjalanan jadi lebih lama, asalkan kami bisa sampai dengan aman dan nyaman.

Kadang aku masih teringat dengan kejadian itu. Rasanya tidak percaya bahwa hal seperti ini bisa terjadi, dan yang lebih menyedihkan, tidak ada satu pun dari kami yang mendapat permintaan maaf. Pengalaman ini membuatku sadar bahwa kesabaran tidak hanya diuji oleh hal besar, tapi juga oleh hal-hal kecil yang tidak kita duga sebelumnya.


Selengkapnya baca di aplikasi KBM APP. Klik Link di bawah ini:


ROTI-ROTI KEHIDUPAN

Posting Komentar untuk "Perjalanan Mudik yang Menguji Kesabaran: Dua Jam Tanpa Udara Segar"