ZMedia

Ketika Shalat Jumat Jadi Ajang Gulat

 


Shalat Jumat kali ini, aku berharap bisa lebih khusyuk. Seperti biasa, aku datang lebih awal, memilih shaf kedua, tepat di belakang shaf utama. Masjid sudah lumayan penuh, suara azan berkumandang merdu dari pengeras suara, menandakan waktu shalat segera tiba.

Aku duduk, bersiap mendengarkan khutbah, tapi tiba-tiba perhatianku teralihkan. Di shaf utama, ada seorang bapak dengan tiga anak kecil: yang paling besar sekitar delapan tahun, yang tengah lima tahun, dan yang paling kecil kira-kira tiga tahun. Sekilas, bapaknya terlihat paham agama—janggut panjang, celana cingkrang, dan wajah yang tenang. Tapi anak-anaknya? Astaghfirullah.

Ketika khatib mulai ceramah, si bocah-bocah ini mulai beraksi. Yang lima tahun menendang kakaknya, yang delapan tahun nggak mau kalah, membalas dengan dorongan. Yang tiga tahun? Tertawa-tawa sambil berguling ke kanan-kiri, nyaris mengenai kaki jamaah di sebelahnya. Aku mencoba tetap fokus, tapi makin lama mereka makin liar. Seperti ada pertandingan gulat yang tidak kasat mata di depan mataku.

Saat iqamah berkumandang, aku berharap mereka bakal tenang. Ternyata harapanku terlalu tinggi. Baru rakaat pertama, si sulung menarik kopiah adiknya, membuat si bocah lima tahun marah dan berusaha membalas. Si bungsu tiba-tiba berdiri, melihat sekeliling seperti wasit yang mengamati pertandingan. Dan tepat di sujud pertama, mereka bergulat sungguhan! Lutut si tengah menghantam lantai dengan suara cukup keras, si kakak tertawa, sementara si kecil mulai menangis. Aku yang lagi sujud, harus menahan diri untuk tidak menghela napas panjang.

Sampai salam terakhir, aku sudah hampir menyerah dengan kekhusyukan. Aku melirik si bapak, berharap ada teguran atau tindakan. Tapi dia tetap diam, seolah anak-anaknya hanya sekumpulan awan lewat di hari cerah. Setelah doa selesai, aku mengatur napas dan mencoba bersikap woles. Bagaimanapun, ini masjid, bukan arena debat.

Aku hampir ingin menegur, tapi akhirnya memilih diam. Sebagian dari diriku ingin mengerti—mungkin si bapak hanya ingin mengenalkan anak-anaknya ke masjid sejak dini. Tapi, bukankah ada cara yang lebih baik? Aku melirik ke belakang, ada banyak ruang kosong. Kalau saja mereka duduk di shaf belakang, mungkin aku dan beberapa jamaah lain nggak kehilangan separuh kekhusyukan hari ini.

Aku bangkit, melangkah keluar sambil bergumam dalam hati, "Ya Allah, semoga shalat Jumat berikutnya aku lebih beruntung. Atau minimal, nggak ada lagi pertarungan WWE di depan mataku."

Posting Komentar untuk "Ketika Shalat Jumat Jadi Ajang Gulat"